intriknews.com Jakarta - Tiga puluh tahun yang lalu saya tinggal di sebuah paviliun di Jalan Teuku Umar tepat di seberang rumah Jenderal A.H. Nasution, Menteri Koordinator Hankam/Kepala Staf Angkatan Darat. Pada malam tanggal 30 September 1965 saya dengar tembakan gencar yang membuat saya kaget terbangun dan segera menghampiri jendela kaca untuk melihat apa yang terjadi di luar. Tampak truk militer bergerak, prajurit berlari-lari sambil berteriak, lalu truk hilang dari pandangan. Kemudian sebuah sedan dengan lampu besarnya menyala meninggalkan pekarangan Nasution. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya mengira pengawal Nasution melepaskan tembakan terhadap maling atau perampok yang sedang beraksi.
Pagi waktu mengantar anak saya Ella ke sekolah Trisula, saya lihat halaman rumput depan rumah penuh dengan prajurit TNI. Mereka tengkurap di belakang senapan mesin bikin stelling. Di jalan beberapa panser diparkir. Pangdam Jaya Umar Wirahadikusuma (waktu itu) bercakap-cakap dengan anak buahnya. Kolonel Nugroho Notosusanto juga muncul. Di rumah Dr Leimena, Wakil Perdana Menteri II tidak jauh dari gardu pengawalnya, sesosok tubuh tergeletak di tanah ditutup dengan kain putih. Saya diberi tahu itu jenazah seorang anggota kepolisian.
Di jalanan segala sesuatu tampak biasa. Rutin kehidupan berlaku normal, kecuali di Jalan Teuku Umar di mana banyak orang militer. Sekembali dari mengantar Ella ke sekolah, orang-orang di rumah memberi tahu mereka dengar siaran berita RRI pukul tujuh pagi bahwa telah dibentuk Dewan Revolusi di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung, komandan batalyon Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden.
Saya belum mengerti apa artinya itu. Segera saya ambil sepeda menuju Jalan Tanjung ke rumah teman saya Soedjatmoko. Saya ceritakan padanya apa yang terjadi di Jalan Teuku Umar. Dia barusan menerima kabar melalui telepon bahwa Mayjen Haryono, perwira tinggi Markas Besar Angkatan Darat, semalam didatangi rumahnya di Jalan Borobudur oleh satu regu tentara yang kemudian menembaknya dan menyeretnya ke dalam truk untuk dibawa entah ke mana. Mungkin sekali ia telah mati.
Beberapa hari sebelumnya, di rumah Soedjatmoko, saya dengar Haryono bercerita tentang laporan intel mengenai PKI akan melancarkan suatu aksi, akan tetapi oleh Mayjen S. Parman berita itu dianggap sebagai gejala perang urat syaraf (psywar) belaka yang belum perlu diperlakukan secara serius. Kami tanya bagaimana penilaian Haryono dan ia menjawab tidak bersedia anggap enteng informasi tentang PKI. Karena itu dia membawa senapan mesin ke rumahnya untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan bahaya.
Ingat semua itu melintas di benak saya suatu pikiran. "Kalau Haryono mati begitu, ini tentu PKI punya kerja, ini kudeta PKI," kata saya. Soedjatmoko diam sambil menganggukkan kepalanya.
Setelah kami berjanji saling kontak dan tukar informasi saya pulang ke rumah. Saya terpikir kalau benar telah terjadi kudeta oleh PKI, bukankah itu di luar dugaan sama sekali? Sebab kedudukan politik PKI sudah begitu baik berkat diberi angin oleh Soekarno sehingga PKI tidak perlu menempuh jalan kekerasan untuk sampai ke puncak kekuasaan negara. Tunggu sebentar dan buah apel matang akan jatuh sendiri dari pohon. PKI tinggal memungutnya dan berkuasalah dia.
Sepanjang hari sumber informasi saya adalah siaran berita RRI. Pukul 09.30 pagi Menteri/Panglima Angkatan Udara Omar Dani mengeluarkan perintah harian. Ia mengatakan oleh "Gerakan 30 September" telah diadakan gerakan untuk menyelamatkan Revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi terhadap subversi CIA (dinas intelijen Amerika). Dengan demikian telah diadakan pembersihan dalam tubuh Angkatan Darat dari anasir-anasir yang didalangi oleh subversi asing dan yang membahayakan Revolusi. Angkatan Udara RI sebagai alat Revolusi selalu dan tetap akan menyokong dan mendukung tiap gerakan yang progresif revolusioner. Sebaliknya AURI akan menghantam tiap usaha yang membahayakan Revolusi Indonesia, demikian Omar Dani.
Pukul 14.15 bagian penerangan "Gerakan 30 September" lewat RRI mengumumkan susunan Dewan Revolusi Indonesia terdiri dari 45 orang dan diketuai oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Gerakan 30 September. Ketua dan Wakil Ketua merupakan anggota Presidium dan bertindak mewakili Dewan Revolusi. Para Wakil Ketua adalah Brigjen Supardjo, Letkol Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas. Semua anggota Dewan Revolusi dari kalangan sipil diberi hak memakai pangkat letnan kolonel. Dan semua yang berpangkat di atas pangkat ketua Dewan Revolusi (Letkol) diturunkan menjadi letnan kolonel. Untuk sementara menjelang pemilihan MPR, maka Dewan Revolusi menjadi sumber dari segala kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia.
Malamnya RRI menyiarkan keterangan Pusat Penerangan Departemen Angkatan Darat yang menyatakan bahwa gerakan kontrarevolusioner yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September" di Jakarta telah menculik beberapa perwira tinggi yaitu Letjen A. Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen S. Parman, Mayjen Haryono M.T., Brigjen Panjaitan, Brigjen Sutoyo.
Diumumkan pula bahwa Paduka Yang Mulia Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi dengan Yang Mulia Menteri Koordinator Hankam/KASAD Jenderal A.H. Nasution dapat diamankan dan dalam keadaan sehat walafiat.
Pimpinan Angkatan Darat untuk sementara dipegang oleh Mayjen Soeharto, Panglima Kostrad. Situasi umum telah dapat dikuasai kembali dan tindakan-tindakan pengamanan sedang giat dilakukan. Kepada masyarakat ramai diserukan agar tetap tenang dan terus melakukan tugasnya masing-masing sebagaimana biasa, demikian Penerangan Angkatan Darat.
Jumat malam itu Mayjen Soeharto mengumumkan telah ada pengertian kerja sama dan kebulatan penuh antara Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Kepolisian untuk menumpas gerakan kontra- revolusioner dari apa yang menamakan dirinya "Gerakan 30 September". Dengan telah diumumkannya pembentukan apa yang mereka sebut "Dewan Revolusi Indonesia" dan menganggap bahwa Kabinet Dwikora sudah demisioner, maka jelas orang-orang "Gerakan 30 September" adalah orang-orang kontrarevolusioner yang telah melakukan pengambil- alihan kekuasaan Negara Republik Indonesia dari tangan PYM Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, di samping mereka telah melakukan penculikan terhadap beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, demikian Mayjen Soeharto.
Di manakah Presiden Soekarno? Ada pengumuman yang mengatakan dia sehat walafiat dan tetap memegang pimpinan Negara dan Revolusi. Pimpinan ABRI sementara berada langsung dalam tangan Presiden/Pangti ABRI dan untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditunjuk untuk sementara Mayjen TNI Pranoto Reksosamudra, Asisten III Men/Pangad.
Sungguh, hari penuh gejolak rasa dan emosi, penuh ketegangan karena ketidakpastian yang dihadapi dan ketidaktahuan tentang apa yang terjadi. Tapi waktu malam hari disiarkan: Studio RRI sudah dapat direbut kembali dari tangan Dewan Revolusi, saya lega. Usaha PKI merampas kekuasaan negara gagal. Saya boleh tidur dengan tiada kekhawatiran.
Sebelum itu suatu akumulasi keresahan telah menghimpit saya. Kongres mahasiswa komunis CGMI diadakan 29 September di Istana Olahraga Bung Karno. Ketua PKI D.N. Aidit berpidato dan menyatakan kepada para mahasiswa CGMI, mereka itu harus memakai sarung, jika HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) tidak dapat dilenyapkan. Ucapan Aidit ini jelas suatu tantangan kepada pemerintah yang hingga saat itu tidak membubarkan HMI. Apakah sebabnya Aidit begitu berani?
Juga menarik sambutan Anwar Sanusi dari PKI pada penutupan Latihan Sukarelawan Bantuan Tempur BNI. Ia berkata, "Kita sekarang berada dalam situasi di mana Ibu Pertiwi sedang dalam keadaan hamil tua. Sang Paraji, Sang Bidan sudah siap dengan segala alat yang diperlukan untuk menyelenggarakan kelahiran Sang Bayi yang lama dinanti-nanti. Sang Bayi yang akan lahir dari kandungan Ibu Pertiwi itu adalah suatu kekuasaan politik yang sudah ditentukan dalam Manipol yaitu kekuasaan gotong-royong yang berporoskan Nasakom bersokoguru buruh dan tani". Apa artinya ucapan Anwar Sanusi? Saya tak tahu pasti, akan tetapi dapat merasakan suhu politik sedang naik. Betapa tidak. Di Jakarta tidak kurang dari 100.000 massa rakyat dengan dipelopori oleh pemuda, pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Front Pemuda, diikuti pula oleh golongan buruh, tani, wanita, seniman dan wartawan melakukan aksi tunjuk hidung terhadap setan-setan kota, kaum kabir (kapitalis birokrat), pencoleng. Pimpinan delegasi demonstran menyampaikan daftar empat setan kota kepada Menteri/Jaksa Agung Sutardhio. Keempat setan kota yang dimaksud ialah Hein Siwu, Dicky Indra Pontoan, Ir. Husein Aminuddin dan Kapten Iskandar.
Orang-orang yang mendukung politik komunis bersikap takabur atau galak. Ketua Umum PWI Karim D.P yang melenceng ke kiri berkata "Tidak ada satu kekuatan apa pun yang mampu mengalahkan kekuatan rakyat". Tatkala kaum komunis melancarkan aksi pemboikotan film Amerika Serikat, mereka juga menyerang tokoh-tokoh film Indonesia seperti Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik. Sitor Situmorang menyebut Usmar "agen Yayasan Rockefeller", sedangkan A. Sibarani menghantam Usmar yang dikatakannya mempunyai pandangan" American way of life".
Pada tanggal 2 Januari 1965 dalam resepsi hari ulang tahun ke-9 surat kabar Duta Masyarakat Wakil PM/Menteri Luar Negeri Dr Subandrio menyatakan, "Tahun 1965 adalah tahun kristalisasi kekuatan-kekuatan dalam revolusi Indonesia dan dalam tahun ini mungkin akan ada kawan seperjuangan yang terpaksa kita tinggalkan karena mereka tidak lagi dapat mengikuti jalannya revolusi bahkan menjadi kontrarevolusi".
Pramoedya Ananta Toer tokoh Lekra yang suka menulis dalam lampiran budaya Lentera di surat kabar Bintang Timur, mengatakan "Tahun 1965 ini tahun pembabatan".
Apakah artinya semua itu? Apakah itu suatu nubuat atau agenda politik yang telah dirancang oleh kaum komunis ? Bagaimana juga, akhirnya Gerakan 30 September dilacarkan oleh PKI. Cerita tentang tembakan gencar di Teuku Umar 30 tahun yang silam harus diceritakan supaya jangan sampai pupus dari ingatan.
Dewasa ini ada orang-orang yang berbohong, menghilangkan jejak di siang bolong dan seperti taktik Goebbels, Menteri Propaganda Hitler, terus gigih mengulang-ulang "Es ist nicht wahr" (Itu tidak benar) sampai akhirnya khalayak percaya bahwa G30S/PKI itu tidak pernah ada. Jangan sampai terjadi demikian. Awas, sisa-sisa PKI masih ada. Mereka bergerak dengan satu motif: dendam politik!
Catatan : H. Rosihan Anwar, wartawan senior, kolumnis.
Judul asli: Coup D'etat, Nafsu Syahwat yang Mencelakakan!
0 Response to "Awas... Sisa PKI Masih Ada. Mereka Bergerak Dengan Satu Motif: Dendam Politik!"
Posting Komentar