"Hadiah Cinta dari Istanbul" [PRAKATA]


Oleh Fairuz Ahmad
Penulis 'Hadiah Cinta dari Istanbul'

فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ

“Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” [QS. al-A’raaf : 176]

Sebuah kisah, dihadirkan tak lain untuk menyampaikan hikmah, nasehat, peringatan, dan pelajaran buat para pembacanya. Namun ia akan berfungsi dengan semestinya bila siapa saja yang membacanya mau berpikir. Itulah yang hendak Allah sampaikan dalam ayat di atas, bahwa kisah-kisah para nabi yang berserak dalam Alquran, tak lain agar siapa saja yang membacanya diteguhkan hatinya dan mengerti bagaimana seharusnya ia menata dan merenda kehidupannya.

وَكُلاًّ۬ نَّقُصُّ عَلَيۡكَ مِنۡ أَنۢبَآءِ ٱلرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِۦ فُؤَادَكَ‌ۚ

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” [QS. Hud : 120]

Dan sungguh tak terkira rasa syukur saya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang akhirnya berkenan memudahkan penulisan novel ini, yang sejujurnya dari awal penulisan sudah terasa begitu berat karena harus meramu sebuah kisah imajinasi dan beberapa fragmen nyata dalam berbagai peristiwa dengan beberapa muatan sejarah besar bangsa Turki Utsmani, hikmah-hikmah yang terkandung dalam Alquran dan hadits Nabi, sekaligus mengeksplor tema-tema akhlak dari kitab Riyadh as-Shalihin.

Bagi saya, tak harus menunggu punya banyak pengalaman dan karya di bidang kepenulisan untuk menjadi penulis, meski hal tersebut sangat membantu kedewasaan dan kematangan tulisan. Tapi bila menulis adalah ladang kebaikan maka siapa pun berhak untuk menulis. Kadang banyak orang menjadi ciut nyalinya saat ingin berkarya di bidang kepenulisan sebab ia belum punya banyak pengalaman dan karya. Akhirnya peluang kebaikan dengan menyampaikan ide, nasehat, atau pun peringatan menjadi hilang. Padahal menyampaikan kebaikan dalam rangka amar makruf dan nahi mungkar adalah tugas setiap orang Islam. Seorang penulis harus mampu mengatasi zamannya, begitu nasehat Buya Hamka. Dan nasehat itulah yang mendorong saya untuk membuat karya novel pertama saya ini.

Dan sebenarnya keinginan untuk mewujudkan impian saya menulis novel sudah sangat lama. Mungkin sekitar lima tahunan yang lalu, dan baru sekarang keinginan itu terwujud setelah Allah takdirkan kaki ini menjejak negeri indah bernama Turki pada tanggal 20 Januari 2014. Sedikit dari bagian novel “Hadiah Cinta dari Istanbul” ini pada mulanya adalah catatan-catatan perjalanan saya ke Kota Istanbul, Madinah, dan Mekkah dalam rangka perjalanan umrah yang diprakarsai oleh perusahaan furniture PT. Trimax Furintraco. Dan sejujurnya, karena kendala pengalaman menulis saya yang sama sekali tidak punya, maka sedikit banyak mempengaruhi nyali untuk memulainya. Saya mulai serius mengerjakan penulisan novel ini pada bulan April 2104 dan atas izin Allah bisa saya selesaikan pada bulan Maret 2015. Segala puji bagi Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Di antara motivasi menulis novel “Hadiah Cinta dari Istanbul” ini adalah keinginan saya yang sangat kuat untuk mendekatkan dan menghadirkan ke hadapan umat tema-tema akhlak yang tersebar dalam hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan disusun oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Riyadh as-Shalihin. Kurang lebih empat hingga lima tahun saya mengisi kajian kitab Riyadh as-Shalihin di masjid tempat saya tinggal dan selama itu saya merasa bahwa manfaat yang luar biasa dari kitab tersebut perlu untuk lebih dimaksimalkan dan disebarkan agar semakin banyak umat Islam yang tahu dan mengerti betapa tinggi dan agungnya tarbiyah Rasulullah kepada umatnya. Berangkat dari sanalah saya ingin menghadirkan manfaat dari kitab tersebut kepada saudara-saudara saya dimana pun mereka berada dengan membaca novel ini.

Dan untuk tema akhlak yang tersebar dalam novel saya, maka saya sengaja mencantumkan referensinya dalam footnote untuk memudahkan para pembaca merujuk dan mempelajari suatu ibadah atas dasar dalil dan rujukan yang jelas.

Motivasi berikutnya adalah terkait impian saya yang menjadi kenyataan atas izin Allah tentunya, yaitu menjejakkan kaki di negeri sang Pembuka Kota Konstantinopel, Muhammad al-Fatih rahimahullah, kemudian dilanjutkan ke kota Rasulullah, Madinah dan Mekkah. Pada gambaran awal saya tentang novel “Hadiah Cinta dari Istanbul” ini, maka sedikit pun tak ada kaitannya dengan setting tempat di Turki, Madinah, dan Mekkah. Tapi takdir Allah berkata lain. Setelah tiga hari di Kota Istanbul yang begitu indah, barulah muncul sedikit ide untuk membuat setting tempat di kota tersebut. Tapi karena waktu yang sangat singkat, maka tak ada cara lain untuk memunguti jejak-jejak Kota Istanbul selain mengabadikannya dalam foto-foto yang saya niatkan buat bahan baku, lalu sedikit saya taburi bumbu-bumbu imajinasi hingga menghasilkan sebuah cerita yang kental dengan aroma sejarah, cinta dan pengorbanan, juga ilmu dan ulama.

Sungguh nuansa kemoderenan negeri Eropa di Istanbul, kemolekan alam Turki yang bertabur jejak-jejak peninggalan peradaban kuno, dan kerupawanan penduduknya yang berpadu dengan kedamaian Islam dan keagungannya yang salah satunya terlukis indah lewat menara-menara masjidnya, telah mencipta citarasa yang begitu memikat saya saat itu untuk menuangkannya dalam tulisan-tulisan. Maka mengalirlah sedikit catatan-catatan perjalanan saya waktu itu sepulang dari negeri indah yang kemudian saya kembangkan menjadi cerita fiksi dalam novel ini. Saya meyakini bahwa masih ada negeri di dunia ini yang jauh lebih indah dari negeri Turki, namun satu hal yang menurut saya tak mungkin negeri-negeri lain yang jauh lebih indah tersebut mampu mendamaikan hati, yaitu kala melihat keindahan dan kegagahan masjid dan menara-menaranya. Dan memang benar apa yang diungkapkan oleh Rasulullah bahwa tempat di bumi yang paling baik adalah masjid, rumah Allah.

Nuansa dan pesona khas negeri Turki inilah yang pada akhirnya menggoda saya untuk menghadirkan kisah sebuah rumah tangga yang penuh dengan kejutan-kejutan cinta.

Dan untuk kedua kalinya nyali saya kembali menciut bila harus menulis novel untuk pertama kalinya dan belum punya pengalaman apa pun tiba-tiba nekat menulis tentang negeri orang yang tentunya menyangkut budaya yang sama sekali saya tidak kenal. Tapi bagi saya, menciutnya nyali untuk menulis adalah sebuah tantangan, dan tantangan adalah bagian dari musibah bila tidak diatasi. Saya sangat percaya dengan nasehat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang artinya,

“Bersemangatlah terhadap apa saja yang memberimu manfaat, mintalah tolong kepada Allah dan jangan berlemah diri.”[Riyadh as-Shalihin Bab ke-11 hadits no.100. Diriwayatkan oleh Muslim dari jalan sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu.]

Ya, dan ide tersebut benar-benar menguat di saat-saat terakhir ketika saya terdampar di Bandara Jeddah hendak pulang ke Jakarta.

Motivasi lain tentang negeri Turki adalah kebesaran peradaban bangsanya dan sumbangsihnya untuk Islam dan kaum muslimin. Maka dalam novel ini, pembaca sedikit saya ajak untuk kembali ke masa lalu. Masa dimana bangsa Turki pernah memancang kejayaan Islam. Bagaimana pun juga, suka tidak suka, kita harus mengakui kebesaran sebuah bangsa yang beberapa kali disinggung oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya, baik penyebutan yang terkait dengan bangsanya maupun salah satu kotanya, Konstantinopel yang sekarang dikenal dengan nama Istanbul.

Namun kebesaran bangsa Turki pun tak lepas dari intaian dan makar musuh-musuhnya yang didasari rasa dengki yang mahahebat. Itulah mengapa banyak para ulama sejarah muslim yang berjuang mati-matian membongkar kebohongan sejarawan Barat yang banyak melakukan distorsi sejarah atas bangsa Turki Utsmani. Betapa banyak pembusukan-pembusukan sejarah bangsa Turki yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Meski para ulama itu pun akhirnya dengan bijak mengatakan bahwa bangsa Turki Utsmani memang memiliki kekurangan, namun jangan sampai umat Islam turut memakan propaganda sejarawan Barat yang mengatakan bahwa Kekhilafahan Utsmani adalah penyebab kemunduran kaum muslimin. Sebab siapa pun yang mempelajari sejarah bangsa Turki Utsmani secara obyektif, maka propaganda sejarawan Barat tak lain hanya sebuah bentuk perang terhadap sistem kekhilafahan dalam Islam.

Pada kenyataannya setelah Barat berhasil meruntuhkan sistem kekhilafahan Turki Utsmani di tahun 1924 dan menggantinya dengan negara republik di bawah pimpinan Musthafa Kemal Ataturk yang disebut hampir sebagian besar ulama sebagai al-Kha’in, sang pengkhianat, toh kaum muslimin tidak mendapatkan kemuliaannya sebagaimana di masa-masa sebelumnya. Dan bahkan hingga hari ini, kerugian umat semakin bertambah dengan dihapuskannya sistem kekhilafahan Islam.

Sungguh siapa pun tak akan bisa menutup mata dari banyaknya sumbangsih bangsa Turki Utsmani kepada dunia yang bahkan telah diakui secara jujur oleh musuh-musuhnya.

Dan untuk muatan sejarah bangsa Turki dalam novel saya ini, maka saya tidak mencatumkan referensinya dalam footnote, namun para pembaca bisa menikmatinya di sumber aslinya pada kitab-kitab yang saya sebutkan dalam daftar referensi. Dan ini pula yang menjadi salah satu kekuatan novel saya terkait sejarah bangsa Turki. Ada banyak satuan peristiwa dan hal-hal unik yang tidak diketemukan di buku-buku sejarah berbahasa Indonesia tentang bangsa Turki, karena memang buku-buku sejarah mereka yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sangatlah terbatas. Dari sekitar delapan puluhan referensi dalam novel ini, sekitar lima puluhnya adalah tentang sejarah Turki baik berupa buku maupun makalah.

Ada sedikit yang saya sayangkan adalah tidak adanya kemampuan berbahasa Turki. Padahal buku-buku sejarah Turki yang ditulis oleh sejarawan Turki sangat melimpah. Namun akhirnya sedikit tertolong oleh beberapa buku sejarah mereka yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.***

___
Dari PRAKATA Novel Hadiah Cinta dari Istanbul



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to ""Hadiah Cinta dari Istanbul" [PRAKATA]"

Posting Komentar