Ustadz Rappung Samuddin*
Saya ingin membuat contoh sederhana terkait aplikasi apa yang diistilahkan dengan "apa yang wajib dilakukan" dan "apa yang mungkin dilakukan", juga pembuktian bahwa pemahaman akan nash (fahmun nash) kadang tdk sama dengan aplikasinya.
Kisah yang sangat masyhur, dan hampir semua kita mengetahuinya. Seorang Arab gunung (badui) masuk ke dalam mesjid lalu kencing disalah satu pojok. Para sahabat serentak bangkit untuk menghentikan dan memberinya pelajaran. Akan tetapi, Nabi kemudian mencegah mereka hingga orang Arab gunung ini selesai menunaikan hajatnya buang air kecil. Baru setelah itu, beliau minta segayung air dan menyiram bekas air kencing Arab gunung tersebut.
Yang dipahami dari nash ini, jg nash-nash pendukung lainnya adalah kewajiban menjaga kesucian mesjid dan mencegah orang yang berusaha mengotori dan merusak kehormatannya. Ini juga bisa dilihat dari reaksi para Sahabat yg secara spontan hendak menghentikan perbuatan Arab gunung tersebut.
Akan tetapi, aplikasinya tidak seperti itu. Nabi Saw justru melarang melakukan penghentian itu. Tentunya pelarangan tersebut berdasarkan pertimbangan mashlahat dan mudaratnya. Bahwa jika Arab gunung itu dicegat atau dikejar, mungkin saja dia akan lari hingga menyebabkan air kencingnya berceceran dimana-mana, yg tentunya akan sulit dibersihkan. Demikian juga, jika dicegat dan dia hentikan kencingnya, bisa membuat dia kesakitan, belum lagi rasa benci terhadap sikap sahabat.
Fiqih dari hadits ini, bahwa terkadang ada sikap toleransi terhadap sebuah pelanggaran, yg jika dicegat akan melahirkan pelanggaran yang jauh lebih besar. Bukan menyetujui pelanggaran tersebut. Apalagi mendukungnya sejak awalnya. Akan tetapi mengambil yg paling ringan dari mafsadat yg bakal ditimbulkan olehnya.
Dalam kasus ini, Nabi mencegat para Sahabat mengejar Arab gunung itu. Ini tidak berarti Nabi ridho dengan apa yg dilakukan olehnya berupa pelecehan terhadap rumah Allah, wal 'iyadzu billah. Perbuatan mencegah itu wajib dilakukan jika Arab gunung itu belum dan akan memulai kencing. Akan tetapi, ketika perbuatan kencing telah dilakukan, maka yang dilihat di sini adalah apa yg mungkin bisa dilakukan. Tentunya, melihat mana yang lebih ringan mudarat yg ditimbulkan.
Reaksi sahabat sudah benar, sebab dibangun atas ghirah terhadap kesucian rumah Allah. Akan tetapi, semangat dan ghirah itu harus tetap seiring sejalan dengan pertimbangan mashlahat dan mudharat, seperti yang dipahami Nabi Saw.
Nah, demikianlah dengan apa yg dilakukan saudara-saudara kita di dalam sistem. Jika hanya berbekal semangat dan ghirah, kemudian langsung mengadakan perubahan radikal, sementara ia telah mengurat dan mengakar, sdh pasti akan melahirkan mudharat yang jauh lebih besar. Maka yg mungkin dilakukan saat ini adalah meringankan dan jangan sampai menjadi mudharat bagi Umat. Sebab dalam hal takar menakar mashlahat dan mudharat, semangat saja tidak cukup, namun butuh ketajaman analisa dan ilmu realita yang memadai.
Syaikh al Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, ketika mengomentari kisah protes nabi Musa as terhadap perbuatan Khidir as yang zahirnya maksiat dalam surah al Kahfi, berupa pengrusakan kapal dan pembunuhan terhadap seorang anak kecil, beliau berkata:
"Kisah Khidir dan Musa alahimas salam, pada hakikatnya tidak bertentangan dengan syariat Allah. Bahkan seluruh perbuatan Khidir as merupakan perintah dalam syariat, dengan syarat harus diketahui mashlahat yang terkandung di dalamnya, sesuai yg diketahui oleh Khidir as. Beliau tidak melakukan perbuatan haram secara mutlak. Semua perkara ini menunjukkan, bahwa ia adalah perkara-perkara yg pada zahirnya sebuah kerusakan, namun menjadi mubah (boleh) secara lahir maupun batin bagi mereka yang mengetahui kandungan hikmah yang melahirkan kebaikan di dalamnya". (Ibnu Taimiyah, Majmu' al Fatawa, 14/475).
Yah, kadang ada sebuah perbuatan yang zahirnya sebagai sebuah pelanggaran, tapi menjadi boleh bagi mereka yang mengetahui hikmah dan kebaikan di baliknya berdasarkan ilmu dan bashirah. Artinya, boleh bagi mereka yg mengetahui hikmahnya, dan haram bagi yang tidak mengetahuinya. Wallaahu A'lam.
___
*Sumber: http://ift.tt/1S2y3RH
0 Response to "Belajar Dari Sikap Nabi Menghadapi Ulah Badui Kencingi Masjid"
Posting Komentar