Jokowi dan 'Penjara' Politik Pencitraan
Oleh Muhammad Ibrahim Halim
Mahasiswa PPS Ilmu Komunikasi Unhas
(Dimuat di Harian Tribun Timur Makassar edisi 11 November 2015)
POLITIK pencitraan Joko Widodo tak bisa dipungkiri menjadi faktor utama yang mengantarnya ke tampuk teratas kepemimpinan nasional. Dalam langgam politik masa kini, politik pencitraan ibarat cendawan yang tumbuh selepas hujan. Mulai dari organisasi kepemudaan, kepala desa, calon anggota legislatif, calon bupati, walikota, gubernur, hingga calon presiden semuanya ‘menjual diri’ dengan konsep pencitraan.
11 tahun yang lalu, adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang meledakkan virus politik pencitraan hingga magnitude-nya merambah ke seantero Nusantara. SBY smengeksplorasi sejumlah potensi dirinya untuk meraih empati dan simpati rakyathinggasukses melenggang ke Istana dengan embel-embel presiden pertama produk pemilihan langsung (Pemilu 2004).
SBY dicitrakan sebagai sosok politisi terzolimi oleh presiden berkuasa ketikaitu, Megawati Soekarnoputri. Tak cukup mengeksplorasi kesan terzolimi, disingkirkan, dipojokkan, dan diremehkan, SBY juga memberdayakan dengan baik situasi yang memosisikannya seolah teraniaya. Momentum pengunduran dirinya dari kabinet Mega pun semakin mengapungkan namanya ke permukaan.
Potensi lahiriah yang dimiliki SBY seperti; bertubuh tinggi tegap, aura yang jarang ketawa, serius, dan terkesan tegas adalah modal besar. Itulah yang di-blow up maksimal demi melahirkan citra sebagai calon pemimpin ideal bagi Indonesia.Perlu diingat, pada momentum pilkada langsung(pertama) citra diri kandidat memang sangat menentukan.
Tentu saja politik pencitraan di Indonesia tidak lahir di zaman SBY. Politik serupa sudah banyak disaksikan penulis saat kuliah S1 di awal tahun 2000-an. Saat pemilihan Ketua BEM, misalnya, mulai dari nama partai, pose kandidat dalam pamplet-pamplet maupun baliho, hingga pendekatan ke calon pemilih sudah ala-ala pencitraan. Namun massifnya politik pencitraan memang mulai booming di era SBY. Oleh politisi, pencitraan pun dianggap jalan pintas membangun imaji diri. Bahwa kelak tidak sesuai karakter yang dicitrakan, itu lain soal.
Bagaimana politik pencitraan ala Joko Widodo? Menyimak dan mencermati kegemilangan pencitraan ala Jokowi mulai saat ia bertarung pada Pilkada Gubernur DKI Jakarta hingga Pilpres 2014, tidak berlebihan menyebut pencitraan politik ala Jokowi adalah penyempurnaan dari pencitraan ala SBY.
Jika SBY menjelma menjadi simbol perlawanan yang lemah atas yang kuat (relasi kabinet Mega) maka Jokowi menyempurnakannya dengan mencitrakan dirinya sebagai teman dari mereka yang lemah. Hal ini tercermin dari aktifitas blusukan yang semakin massif dan luas saat Pilkada Gubernur DKI dan Pilpres RI 2014.
Jika SBY mengelaborasi potensi fisiknya untuk mencitrakan diri tegas, bijaksana, dan berwibawa, maka Jokowi juga melakukannya, bahkan jauh lebih sempurna. Postur kurus, wajah ndeso (kampungan), lugu/polos, dan berpenampilan sederhana, tak dinyana justru berhasil membuai masyarakat. Apalagi Jokowi mendapat sokongan pemberitaan dari media massa yang begitu besar sehingga ia disimbolkan sebagai calon pemimpin yang merakyat, sederhana, dan pelindung wong cilik.
Menjadi media darling sejak menjabat Walikota Surakarta (Solo) juga menjadi faktor yang memudahkannya untuk segera menundukkan ‘ganasnya’ media-media di Jakarta. Nyaris semua aktifitas Jokowi mendapat perhatian dari media massa, mulai elektronik, cetak, hingga online. Jangan lupa juga, penguasaan opini publik melalui media social (new media) ikut memberi andil besar terhadap kesuksesan Jokowi.
Pola-pola politik pencitraan terus diterapkan Jokowi, bahkan setelah menjalani tugasnya selama setahun ia tak pernah lepas dari polesan pencitraan. Politik pencitraan tak hanya digunakan untuk mengantarnya duduk di singgasana RI 1 tapi ternyata politik pencitraan tetap dilanjutkan untuk mengawal setiap kebijakannya.
Mari menelisik beberapa fakta menarik bagaimana Jokowi menggunakan tameng pencitraan untuk melindungi dirinya dari serangan para pengeritik. Pertama soal janji kabinet ramping yang belakangan (ternyata) tetap tidak ramping. Selain dinilai gagal memenuhi janji perampingan, Jokowi juga gagal total memenuhi janji bahwa kabinetnya bukan kabinet bagi-bagi ‘rente’.
Bagaimana Jokowi ‘menutup’ fakta kebohongan tersebut dengan pencitraan? Tentu masih segar dalam ingatan, Kabinet Kerja Jokowi-JK dilantik melalui prosesi yang tak lazim. Puan Maharani cs dikukuhkan sebagai pembantu presiden di halaman Istana yang hijau. Juga didramatisir dengan teaterikal berlari-lari kecil menuju taman dengan balutan busana hitam-putih sebagai simbol kesederhanaan. Jadilah fakta inkosistensi itu tidak menjadi realitas tunggal yang muncul media.
Berikutnya, janji tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kado nyata pertama Jokowi-JK buat rakyat adalah menaikkan harga BBM alias mengurangi subsidi. Pola pencitraan atau sebut saja cover up strategy yang dilakukan agar tak menjadi bulan-bulanan adalah segera mengeluarkan trio kartu ‘sakti’; kartu Indonesia sehat, kartu Indonesia pintar, dan kartu keluarga sejahtera.
Tentu saja banyak fakta lain yang tak cukup ruang untuk menyebutnya satu per satu di sini. Yang pasti fakta-fakta itu membuktikan politik pencitraan Jokowi layak disebut penyempurnaan politik serupa yang diterapkan SBY dulu.
Fenomena politisi atau pemimpin menggunakan pencitraan untuk mendapatkan dukungan tentu sah-sah saja. Dari perspektif periklanan maka pencitraan menjadi modal sosial agar tetap menuai dukungan publik. Dan ditinjau dari perspektif komunikasi, yang dilakukan Jokowi tentu tidak salah. Ia jeli memanfaatkan media-media mainstream yang masih setia menyokongnya karena media dianggap sebagai pembawa pesan dan media sebagai bahasa (Joshua Meyrowitz, 1999).
Pilihan Jokowi maupun SBY melebarkan makna dan sasaran politik pencitraan yang bukan sekadar meraih dukungan semata agar terpilih tentu menjadi kajian menarik. Sebab dalam beberapa literatur kajian komunikasi politik, pendekatan politik pencitraan selalu dirujuk sebagai salah satu bentuk kampanye agar khalayak memilihnya saat vote.
Setahun memimpin, Jokowi tak pernah lepas dari komunikasi politik beraroma pencitraan. Lihat saja dua fenomena terakhir yang banyak menyita energi anak bangsa; fluktuasi nilai rupiah dan kebakaran hutan.
Kedua cobaan berat ini seperti dejavu. Dulu digembar-gemborkan jika Jokowi terpilih nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bisa turun ke Rp 10 ribu. Soal kebakaran hutan Jokowi penuh percaya diri menjanjikan tahun 2015 tidak ada lagi kebakaran hutan. Kedua janji ini justru bak palu godam yang balik menghantamnya dan jauh lebih keras dari yang diperkirakan.
Jokowi memang masih melancarkan cover up strategy demi memecah opini publik terhadap ketakberdayaannya menghadapi dua ujian terakhir ini. Misalnya, ia terjun langsung ke hutan-hutan yang terbakar demi menunjukkan keseriusannya. Juga dengan mengunjungi suku anak dalam yang masih heboh dibahas di jagad sosmed. Namun apakah itu berhasil? Masyarakat punya penilaian masing-masing.
Pertanyaannya, apakah pilihan mempertahankan politik pencitraan bisa menolong Jokowi agar tetap mendapat legitimasi dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia? (Mungkin) hanya Jokowi dan Tuhan yang bisa menjawabnya. Semoga saja Jokowi tidak sedang ‘terpenjara’ dalam biduk politik pencitraan yang telah dipilihnya.[]
0 Response to "Jokowi dan 'Penjara' Politik Pencitraan"
Posting Komentar