Kisah Khalifah Umar, Gubernur Mesir, dan Rumah Reyot Yahudi yang Digusur untuk Masjid


Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah mengantikan khalifah pertama Abu Bakar As-Siddiq yang wafat. Umar adalah khalifah yang disayangi oleh Umat. Dia dikenal sebagai pemimpin yang adil dan penyayang kepada umat. Dia juga pemimpin pelindung pada kaum minoritas.

Dalam suatu riwayat dikisahkan di masa kepemimpinan beliau, Mesir dipimpin oleh seorang Gubernur Amr bin Ash. Amru bin Ash adalah sahabat Nabi, seorang panglima Islam yang dibawah komandonya berhasil menaklukan Mesir.

Peristiwa penaklukan Mesir terjadi pada bulan Rabiul Awwal tahun ke-16 H setelah pasukan Islam berhasil menguasai seluruh wilayah Syam (Palestina, Syiria, Libanon dan Yordania). Umar Bin Khattab RA lantas mengutus panglima Amr Bin Ash untuk memimpin pasukan untuk menaklukan Mesir yang saat itu masuk wilayah kekuasan Romawi dengan Mukaukis sebagai Raja Mesir.

Setelah berhasil menguasai Mesir, Amr bin Ash diangkat sebagai Gubernur Mesir (wilayah Mesir menjadi bagian wilayah Kekhalifan Islam yang ber-ibu kota di Madinah, dengan Umar sebagai Khalifahnya). [Selengkapnya kisah penaklukan Mesir KLIN INI]

Saat Mesir dipimpinnya, gubernur Amr bin Ash ingin membangun sebuah masjid di samping istananya yang megah. Tetapi di wilayah akan dibangunnya masjid, ada gubuk reyot milik seorang yahudi.

Gubernur Amr bin ‘Ash lalu memanggil orang Yahudi itu dan meminta agar dia mau menjual gubuknya. Akan tetapi orang Yahudi itu tidak berniat untuk menjualnya. Kemudian gubernur Amr bin ‘Ash memberikan penawaran yang cukup tinggi dengan harga 15 kali lipat dari harga pasaran, tetapi tetap saja orang Yahudi itu menolak untuk menjualnya.

Gubernur Amr bin ‘Ash kesal dan akhirnya karena berbagai cara telah dilakukan dan hasilnya buntu, maka sang gubernur pun menggunakan kekuasaannya dengan memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat pembongkaran dan akan menggusur paksa lahan tersebut. Sementara si Yahudi tua itu tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan kemudian dia berniat untuk mengadukan kesewenang-wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab.

Di sepanjang jalan menuju Madinah, Yahudi itu berpikir bagaimana sosok sang khalifah, apakah ia sama sikapnya dengan sang gubernur. Hingga akhirnya ia sampai di kota Madinah. Ia bertemu dengan seorang pria yang duduk di bawah pohon kurma. Ia bertanya, “Wahai tuan, tahukah anda dimana khalifah?”

Lelaki itu menjawab, “Ada apa kau mencarinya?”

“Aku ingin mengadukan sesuatu.” Jawabnya. Ia bertanya lagi, “Dimanakah istananya?”.

“Ada diatas lumpur,” jawab lelaki itu.

Yahudi itu bingung atas jawabannya kemudian ia bertanya lagi, “Lalu, siapa pengawalnya?”

“Pengawalnya orang-orang miskin, anak yatim dan janda-janda tua.”.

Yahudi itu bertanya lagi, “Lalu pakaian kebesarannya apa?”.

“Pakaian kebesarannya adalah malu dan taqwa.”

Yahudi itu bertanya lagi, ”Dimana ia sekarang?”

Lelaki itu menjawab, “Ada di depan engkau.”

Sungguh kaget Yahudi itu. Ternyata yang sejak tadi ia tanya adalah Khalifah Umar. Lantas ia ceritakan segala apa yang dilakukan oleh Gubernur Mesir padanya.

Laporan tersebut membuat Khalifah Umar bin Khattab marah dan wajahnya menjadi merah padam. Setelah amarahnya mereda, kemudian orang Yahudi itu diminta untuk mengambil tulang belikat unta dari tempat sampah, lalu diserahkannya tulang itu kepada Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Umar bin Khattab kemudian menggores tulang tersebut dengan huruf alif yang lurus dari atas ke bawah dan di tengah goresan itu ada lagi goresan melintang menggunakan ujung pedang, lalu tulang itu pun diserahkan kembali kepada orang Yahudi tersebut sambil berpesan: “Bawalah tulang ini baik-baik ke Mesir dan berikanlah kepada Gubernur Amr bin ‘Ash”, jelas Khalifah Umar bin Khattab.

Si Yahudi itu kebingungan ketika diminta untuk membawa tulang yang telah digores dan memberikannya kepada Gubernur Amr bin ‘Ash.

Saat Gubernur Amr bin ‘Ash menerima tulang tersebut, tubuhnya langsung menggigil serta wajahnya pucat pasi. Saat itu juga Gubernur Amr bin ‘Ash mengumpulkan rakyatnya untuk membongkar kembali masjid yang sedang dibangun dan membangun kembali gubuk yang reyot milik orang Yahudi itu.

“Bongkar masjid itu!”, teriak Gubernur Amr bin Ash gemetar.

Orang Yahudi itu merasa heran dan tidak mengerti tingkah laku Gubernur. “Tunggu!” teriak orang Yahudi itu.

“Maaf Tuan, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu, sehingga Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!”, kata orang Yahudi itu lagi.

Gubernur Amr bin Ash memegang pundak orang Yahudi itu sambil berkata: “Wahai kakek, tulang ini hanyalah tulang biasa dan baunya pun busuk.”

“Mengapa ini bisa terjadi. Aku hanya mencari keadilan di Madinah dan hanya mendapat sebongkah tulang yang busuk. Mengapa dari benda busuk tersebut itu gubernur menjadi ketakutan?” kata orang Yahudi itu.

“Tulang ini merupakan peringatan keras terhadap diriku dan tulang ini merupakan ancaman dari Khalifah Umar bin Khattab. Artinya, “Apa pun pangkat dan kekuasaanmu suatu saat kamu akan bernasib sama seperti tulang ini, karena itu bertindak adillah kamu seperti huruf alif yang lurus. Adil di atas dan adil di bawah. Sebab kalau kamu tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan tulang ini, maka Khalifah tidak segan-segan untuk memenggal kepala saya,” jelas Gubernur Amr bin ‘Ash.

Orang Yahudi itu tunduk terharu dan terkesan dengan keadilan dalam Islam.

“Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh aku rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Bimbinglah aku dalam memahami ajaran Islam!”.

Yahudi itu mengucapkan syahadat dan ia mengikhlaskan gubuknya sebagai area masjid.

Itulah Khalifah Umar, seorang Yahudi masuk islam berkat keadilan dari Umar.

***

"Bagaimana seorang pemimpin memahami nasib rakyatnya jika pemimpin itu belum merasakannya sendiri." [Umar bin Khattab]

*sumber: akhwatmuslimah.com, dll



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kisah Khalifah Umar, Gubernur Mesir, dan Rumah Reyot Yahudi yang Digusur untuk Masjid"

Posting Komentar